Bab 1
Suara dering jam weker yang memekakkan telinga adalah hal pertama yang menyambutku setiap pagi. Aku benci sekali jam itu. Seharusnya aku ganti saja dengan radio alarm, apa pun lebih baik daripada bunyi yang selalu mengingatkanku pada suara mesin penggorengan di tempat kerja.
Astaga, aku benci sekali bekerja di restoran cepat saji. Tapi, hanya pekerjaan semacam itulah yang bisa kujangkau dengan berjalan kaki tiga puluh menit dari rumah. Biasanya, kalau naik sepeda, aku bisa sampai dalam lima belas menit. Aku tidak punya mobil, tidak seperti kakak perempuanku. Dia sudah merusak dua mobil dan sekarang sedang memakai mobil ketiganya. Ayah dan Ibu memang terlalu memanjakannya. Aku benci cara mereka memperlakukanku dan kakakku dengan sangat berbeda.
Sialnya, aku ini benar-benar anak kandung Ayah dan Ibu. Aku bahkan sudah melakukan tes untuk memastikannya. Aku nekat tes DNA karena penampilanku sama sekali tidak mirip dengan mereka berdua. Aku lahir dengan mata berwarna violet, nyaris nila. Rambutku hitam legam, begitu pekat sampai-sampai memancarkan kilau kebiruan saat tertimpa cahaya. Lalu kulitku, warnanya sawo matang dengan semburat tembaga.
Namaku Alora. Sudah beberapa generasi ini, para serigala dari klan kami terlahir dengan kulit pucat, rambut pirang, dan mata biru. Kedua klan orang tuaku memang sengaja membuang semua ciri fisik gelap dari garis keturunan mereka.
Tapi, pastilah ada seseorang, entah dari pihak Ayah atau Ibu, yang mewariskan genetika warna ini padaku. Hasil tes DNA yang kulakukan menunjukkan bahwa aku memiliki hubungan darah dengan salah satu dari tujuh garis keturunan asli manusia serigala di kawanan kami.
Penampilanku persis seperti leluhurku, Luna Sekarjiwa, mulai dari warna kulit hingga rambut dan mata. Konon katanya, Dewi Bulan memberkati garis keturunannya dengan kekuatan dan suara yang luar biasa. Sesuai dengan nama belakangnya, nyanyian seorang Sekarjiwa berasal dari kalbu, dan saat mereka bernyanyi, mereka mampu memengaruhi emosi siapa pun yang mendengarnya.
Menurut legenda kuno, belahan jiwa yang ditakdirkan untuk seorang Sekarjiwa dapat membentuk ikatan jiwa yang lebih dalam ketika mereka bernyanyi bersama dengan kekuatan mereka. Sebuah ikatan magis yang sangat kuat akan tercipta, mengikat pasangan itu melewati reinkarnasi.
Awalnya, aku hanya membicarakan rencana tes DNA ini dengan sang Alpha. Beliau pikir itu ide yang bagus, jadi beliaulah yang memberikan izin. Setelah hasilnya keluar, beliau menunjukkan lukisan Luna Sekarjiwa yang dimilikinya. Dari situlah aku tahu kalau aku benar-benar mirip dengannya.
Aku meminta Alpha untuk merahasiakan hasil tes ini dari orang tuaku. Alasanku saat itu adalah karena aku takut akan apa yang akan mereka lakukan padaku jika mereka tahu. Aku yakin mereka tidak ingin hal ini tersebar, karena bagi mereka, setelah era Alpha pertama, memiliki ciri fisik seperti Luna Sekarjiwa adalah sebuah kesalahan. Benar-benar sebuah kebodohan yang luar biasa, kalau menurutku. Meski begitu, aku memanfaatkan hasil tes ini sebagai senjataku, sebagai alat yang kubutuhkan untuk melarikan diri.
Selama beberapa generasi, hubungan apa pun di luar garis keturunan Salju dan Puncak Utara "dilarang keras". Kau tidak boleh "mengotori" warna kulit dan rambut. Kau harus membuang ciri fisik gelap itu, atau kau akan diusir dari klan, menjadi serigala tanpa kawanan. Pilihan lainnya, kau harus berharap pasangan pilihanmu memiliki klan sendiri yang bersedia menerimamu.
Dulu aku selalu takut pada hari di mana mereka akan mengusirku. Namun, seiring bertambahnya usia, rasa takut itu memudar, berganti menjadi keinginan putus asa untuk pergi setelah lulus sekolah. Aku baru diizinkan masuk sekolah saat berumur enam tahun. Lalu, di tahun pertamaku, aku sengaja dibuat tidak naik kelas atas permintaan orang tuaku.
Mereka tidak ingin kelasku terlalu dekat dengan kelas kakakku; mereka tidak mau hubungan kami sebagai saudara terlalu kentara. Padahal itu tidak ada gunanya, karena kakakku sendiri tinggal kelas dua kali. Itulah sebabnya aku masih harus menderita di sekolah. Sarah dan, anehnya, ketiga sahabatnya, masih satu sekolah denganku.
Jadi, meskipun aku sudah delapan belas tahun dan masih di SMA, sebenarnya aku sudah bisa ikut ujian persamaan, lulus, dan langsung kuliah penuh waktu tanpa harus mengikuti kelas SMA lagi. Pihak sekolah sudah mendorong agar pendidikanku dipercepat, tetapi orang tuaku tidak mengizinkanku maju sejauh itu. Saat pertama kali diajak bicara, orang tuaku berkata kepada Kepala Sekolah bahwa mereka khawatir aku tidak akan bisa beradaptasi di perguruan tinggi pada usia yang begitu muda. Mereka tidak mau aku dimanfaatkan orang, atau dibebani ekspektasi yang terlalu tinggi.
Padahal kenyataannya, mereka hanya tidak ingin aku lebih bersinar dari kakak perempuanku, atau memiliki cara untuk kabur dari mereka. Hal ini akhirnya membuat Kepala Sekolah, Pengawas, dan hampir semua guruku sadar bahwa orang tuaku sengaja menghambatku. Mereka tahu, mereka harus mencari cara lain di luar persetujuan orang tuaku untuk memberiku pendidikan yang bukan hanya kuinginkan, tetapi juga pantas kudapatkan.
Semua ini berarti, meskipun aku seharusnya sudah bisa lulus SMA saat kelas 3 SMP, orang tuaku melarangnya. Aku tetap mengikuti kelas-kelas kuliah, tapi statusku hanya sebagai siswa SMA yang menumpang belajar. Perkuliahan itu berlangsung di universitas lokal milik Pack. Setiap hari, setelah selesai urusan di SMA, aku diantar ke sana dengan bus agar terlihat seolah-olah aku masih butuh sekolah menengah. Pihak universitas sendiri sangat senang menerima mahasiswa muda yang begitu cerdas, yang berada di jalur untuk lulus SMA dan meraih gelar doktor pada saat yang bersamaan.
Pada dasarnya aku akan menjadi lulusan ganda, tapi aku tidak keberatan. Aku bersyukur bisa mengenyam pendidikan. Orang tuaku sama sekali tidak tahu sejauh mana pihak sekolah dan sang Alpha membantuku meraih semua ijazah ini. Mereka pikir transportasiku ke kampus itu hanya untuk kelas tambahan, dan waktuku di laboratorium adalah tugas wajib dari SMA agar bisa lulus. Kakakku tidak cukup peduli untuk menyadari semua ini. Dia tidak tahu apa-apa, dan itu bagus.
Program doktor yang kuambil seharusnya masing-masing butuh delapan tahun untuk selesai. Aku berhasil menyelesaikan ketiga program itu hanya dalam empat tahun, sambil tetap bersekolah SMA dan bekerja. Aku magang tiga hari seminggu di sebuah laboratorium yang sebenarnya sudah tidak kubutuhkan lagi untuk kredit kuliah. Aku sudah memenuhi semua jam wajib untuk lisensi dan gelarku, tapi laboratorium itu adalah tempat pelarianku. Pekerjaan di restoran cepat saji hanya dua puluh jam seminggu, cukup untuk memberiku sedikit uang saku untuk belanja dan membayar pulsa ponsel. Jika aku menghasilkan lebih dari itu, aku akan menarik perhatian orang tuaku dan Sarah, dan itu adalah hal terakhir yang kuinginkan saat ini.
Tinggiku 175 cm, dengan dada berukuran triple-D, pinggang yang panjang, ramping, dan kencang, serta pinggul lebar yang indah dan bokong yang besar namun padat. Kakiku jenjang dan kencang, lenganku pun berotot. Kulitku, yang masih mempertahankan warna sawo matang sejak lahir, terasa halus tanpa noda. Sebanyak apa pun pukulan yang kuterima dari keluargaku, kulitku menolak untuk meninggalkan bekas luka, seolah menyembunyikan semua rasa sakit itu di dalam hati dan jiwaku.
Rambutku tergerai bergelombang lembut hingga ke pinggul. Biasanya aku mengepangnya agar tidak menutupi wajah, lalu menggulungnya menjadi sanggul agar tidak tersangkut peralatan lab atau penggorengan di restoran tempatku bekerja. Di saat lain, aku membiarkannya terurai untuk menyembunyikan wajahku. Mataku besar berbentuk almon, dengan sudut luar yang sedikit terangkat naik. Iris mataku yang berwarna ungu dengan bingkai perak dikelilingi oleh bulu mata yang panjang, tebal, dan hitam. Hidungku agak mungil dengan ujung yang sedikit mancung. Bibirku penuh, sedikit cemberut, dan berwarna merah alami.
Aku kuat dan kencang karena setiap manusia serigala di Pack wajib berlatih. Sang Alpha menyuruhku berlatih dengan Pelatih Master Elit Pack untuk menyembunyikan dari keluargaku betapa jauh lebih baiknya aku dalam latihan dibandingkan kakakku, karena beliau khawatir akan apa yang akan mereka lakukan padaku. Sejak dulu hingga tahun ini, aku selalu berlatih di gedung yang berbeda dari kakakku dan semua serigala lain di angkatanku.
Kelompoknya masih berlatih di gedung lain, yang diperuntukkan bagi para senior. Ini karena mereka adalah petarung cadangan, yang akan tetap tinggal di belakang bersama anggota Pack lainnya dan bersembunyi di tempat perlindungan. Tugas mereka adalah melindungi orang-orang di dalam karena kekuatan mereka tidak cukup untuk menjadi garda depan, atau bahkan garda kedua dan ketiga. Aku sekarang berada di tingkat senior kelas Alpha, dan kami berlatih di gedung kami sendiri. Ayahku adalah mantan kandidat Beta, dan ibuku adalah putri dari seorang Alpha dan Beta. Keduanya hidup dalam delusi bahwa putri sulung mereka berada dalam pelatihan tingkat Beta. Ah, kebohongan yang diceritakan Sarah pada mereka memang luar biasa.
Aku menyimpan semua keistimewaanku untuk nanti setelah kelulusan. Teman-teman kakakku dan sebagian besar teman seangkatan kami di SMA menganggapku hanya seorang gadis serigala kutu buku dan pelayan restoran cepat saji bersepatu roda yang mengantarkan makanan mereka. Sisanya percaya pada gosip yang disebarkan oleh kakakku dan teman-temannya. Hanya orang-orang dewasa yang telah membantuku yang memberitahuku betapa istimewanya diriku. Yah, mereka bilang aku istimewa, tapi bagaimana mungkin aku istimewa jika darah dagingku sendiri membenciku hanya karena kulitku tidak pucat? Rambutku tidak pirang keputihan, mataku bukan nuansa biru. Aku bahkan tidak memiliki postur tubuh mungil, langsing, dan ramping seperti wanita-wanita lain di klanku.
Di samping mereka, aku merasa gemuk, terlalu besar, dan terlalu gelap, meskipun secara objektif aku tahu aku tidak gemuk dan memiliki kulit sawo matang bukanlah hal yang buruk. Aku berlatih terlalu keras untuk memiliki satu ons lemak pun. Latihanku adalah satu lagi alat yang akan kugunakan untuk melarikan diri dari keluargaku. Untung saja manusia serigala hanya butuh tidur sekitar empat jam semalam. Jika tidak, aku tidak akan pernah bisa menyelesaikan semua pendidikan dan pekerjaanku. Lagipula, tidur nyenyak hanyalah untuk mereka yang merasa aman di rumah mereka…
Dan aku tidak pernah merasa aman di sini.
