Jangan Tangisi Nisanku

Unduh <Jangan Tangisi Nisanku> gratis!

UNDUH

Bab [2] Berlutut dan Minta Maaf

Keesokan harinya.

Aku tiba setengah jam lebih awal di Restoran Danau Indah.

Suasana restoran itu sangat elegan dan tidak terlalu ramai.

Di meja seberang, ada dua orang tamu yang sedang mengobrol. Suara mereka terdengar cukup jelas di dalam restoran yang hening.

“Kak Maya, ini hadiah ulang tahun dari Pak Limbong kemarin, ya? Cincin berlian sebesar ini, harganya pasti ratusan juta, kan?”

Aku sontak menoleh, bagai tersengat listrik. Benar saja, itu Maya Sujiman.

Mendengar ucapan temannya, Maya Sujiman menutup mulutnya dengan malu-malu. Cincin berlian besar itu berkilauan di bawah cahaya lampu. “Aku juga kurang tahu, sih. Katanya dia cuma mau kasih aku yang terbaik. Sejujurnya, aku juga merasa ini terlalu mahal….”

Aku duduk tak jauh dari mereka, menatap dengan dingin.

Cincin berlian yang Arjuna berikan begitu saja kepada Maya harganya ratusan juta, sementara ulang tahunku sendiri, dia sama sekali tidak ingat.

Benar-benar konyol.

Mungkin karena tatapanku terlalu tajam, Maya Sujiman akhirnya menyadari kehadiranku.

Senyum di matanya membeku seketika, tetapi ia tetap berkata dengan lembut pada temannya, “Linda, kamu duduk dulu sebentar, ya. Di sana ada temanku, aku mau menyapanya dulu.”

Selesai berbicara, ia berjalan anggun ke arahku. Ia mengulurkan tangannya yang lentik, dengan kuku panjang berwarna nude yang terawat. Cincin berlian yang jernih dan berkilauan itu tampak begitu cemerlang di bawah lampu restoran.

“Oh, Nyonya Limbong rupanya. Hampir saja saya tidak mengenali Anda.”

Suara Maya Sujiman terdengar manis. “Kebetulan sekali, ya. Pak Limbong bilang restoran ini enak sekali, jadi dia sengaja pesan tempat untukku. Katanya sebentar lagi dia datang.”

Aku malas meladeninya. Tadinya aku ingin mengabaikannya saja, tapi sepertinya ada yang sengaja ingin memprovokasi.

Maya Sujiman mengangkat tangan yang bercincin berlian itu untuk merapikan rambut panjangnya. “Nanti mau gabung sekalian? Anda dan Pak Limbong sudah lama tidak bertemu, kan? Semalam dia tidak sempat pulang karena merayakan ulang tahunku.”

Ia pura-pura malu sambil melanjutkan, “Dia kan cuma mau perhatian sama bawahannya, tapi malah disalahartikan sama media dan disebar di internet, dibilang acara lamaran. Anda tidak keberatan, kan?”

Aku mengangkat alisku, menatap Maya Sujiman.

Gadis yang baru lulus kuliah, begitu muda dan naif. Senyumnya tampak polos dan lugu, tipe yang paling disukai Arjuna Limbong.

Aku tersenyum tipis. “Tentu saja tidak. Bagaimanapun, aku dan Arjuna adalah suami-istri yang sah. Selama beberapa tahun pernikahan kami, sudah terlalu banyak badut yang pamer di internet. Kamu ini bukan apa-apa.”

Wajah Maya Sujiman langsung memerah padam. “Apa maksudmu!”

“Tidak ada maksud apa-apa,” sahutku acuh tak acuh sambil mengangkat bahu. “Nona Sujiman jangan tersinggung. Bahkan kalaupun kamu benar-benar pacar Arjuna Limbong, kamu tetaplah wanita simpanan yang tidak bisa dipamerkan. Aku tidak akan ambil pusing.”

Suaraku tidak keras, tapi cukup untuk didengar oleh orang-orang di sekitar.

Dipermalukan di depan umum, Maya Sujiman jelas tidak bisa menahan amarahnya. Ia menatapku tajam. “Sari Wijaya! Lihat dirimu sekarang, sudah seperti ibu-ibu kusam! Pantas saja Arjuna tidak mau pulang.”

Aku tertawa dingin. Penyakit yang kuderita selama beberapa tahun ini telah menguras seluruh energiku. Tentu saja aku tahu seperti apa penampilanku sekarang, tapi bukan dia orang yang pantas mengatakannya.

Namun, aku masih ada janji dengan Dokter Yusuf, jadi aku tidak ingin berdebat dengannya.

Aku mengangkat tangan memanggil pelayan, hendak pindah meja.

Tak disangka, Maya Sujiman mengira aku akan menyerangnya. Ia mundur selangkah karena kaget, dan tanpa sengaja menabrak pelayan yang sedang membawa nampan.

Teh panas itu tumpah ke lengannya yang terbuka. Seketika, restoran itu dipenuhi jeritan yang melengking.

“Sari Wijaya! Apa yang kamu lakukan!”

Arjuna Limbong tiba-tiba masuk dengan tergesa-gesa, lalu dengan cemas memapah Maya Sujiman yang sudah terduduk kesakitan di lantai.

“Aku benar-benar tidak menyangka kamu wanita sejahat ini.”

Aku menatap ekspresi jijik di wajah Arjuna, dan hatiku tertawa dingin.

Maya hanya tersiram air panas sampai kulitnya sedikit memerah, tapi Arjuna sudah sebegitu khawatirnya.

“Cepat ambilkan es batu! Kenapa masih diam saja?” bentak Arjuna pada pelayan yang masih terpaku di tempatnya.

Aku hanya menonton drama di depanku ini dengan perasaan bosan.

Maya Sujiman, yang tadinya bersandar di pelukan Arjuna dengan ekspresi kemenangan, kini menggigit bibirnya saat melihat sikapku yang acuh tak acuh. Wajahnya langsung berubah menjadi memelas.

“Pak Limbong, mungkin tadi kata-kataku membuat Kak Sari marah, makanya dia sampai main tangan.”

“Aku hanya mencoba menjelaskan gosip soal Bapak merayakan ulang tahunku semalam. Tidak kusangka, dia tiba-tiba menyerangku. Untung aku cepat menghindar, kalau tidak, lukanya pasti lebih parah dari sekadar tersiram air panas.”

Ia berbicara sambil menangis. Air mata mengalir di pipinya yang mulus, membuat siapa pun yang melihatnya merasa iba.

Mata Arjuna Limbong memancarkan hawa dingin. Dengan geram ia berkata, “Kalau ada urusan denganku, datang ke kantor. Jangan ganggu Maya.”

Aku tidak bisa menahan tawa sinisku. “Arjuna Limbong, memangnya apa yang membuatmu berpikir aku datang ke restoran ini untuk mencarimu?”

Sambil memeluk Maya Sujiman, ia memerintah, “Minta maaf pada Maya, lalu antar dia ke rumah sakit. Kamu baru boleh pergi setelah dia baik-baik saja.”

Aku tertawa karena saking kesalnya. “Atas dasar apa? Dia sendiri yang mundur dan menabrak pelayan. Dia bahkan belum minta maaf pada pelayan itu, kenapa aku yang harus minta maaf!”

Arjuna menatapku dengan dingin. “Kamu yang membuatnya terluka, kamu harus minta maaf.”

Setelah berkata begitu, ia mengambil kantong es dari tangan pelayan dan dengan lembut mengompres lengan Maya. Sikapnya benar-benar berbeda 180 derajat dari tatapan dinginnya tadi.

Sudut bibir Maya Sujiman terangkat membentuk senyuman. Ia menatapku dengan tatapan menantang, lalu berkata dengan manja, “Arjuna, sudahlah, tidak apa-apa. Setelah kamu kompres, lenganku sudah tidak sakit lagi, kok. Lagipula, banyak orang yang melihat. Kak Sari pasti gengsi kalau harus minta maaf padaku.”

Suara Arjuna terdengar lembut, namun tersirat nada mengejek. “Tenang saja. Aku punya cara untuk membuatnya minta maaf padamu.”

Ia meminta Maya untuk memegang kantong esnya sendiri, lalu bangkit dan mengeluarkan buku cek dari sakunya. Dengan cepat, ia menulis beberapa angka.

“Ini sepuluh juta. Bukankah kamu rela melakukan apa saja demi uang? Bersujud dan minta maaflah, dan sepuluh juta ini jadi milikmu.”

Bab Sebelumnya
Bab Selanjutnya