Jangan Tangisi Nisanku

Unduh <Jangan Tangisi Nisanku> gratis!

UNDUH

Bab [6] Biaya Hidup

"Kamu mau main tangan lagi!"

Aku mengerutkan kening. "Aku tidak sengaja, dia menyentuh lukaku."

Ari Limbong melirik lenganku sekilas, tanpa berkata apa-apa.

Mata Maya Sujiman berkaca-kaca, ia berkata dengan nada sedih, "Ini salahku, aku membuat Kak Sari kaget."

Ari Limbong menariknya ke dalam pelukannya, memeriksa dengan teliti. "Kamu tidak apa-apa, kan?"

Maya Sujiman menggelengkan kepala. "Nggak apa-apa, kok. Cuma sayang saja bubur yang baru kubuat jadi tumpah."

Wajah Ari Limbong menjadi semakin muram. Ia merangkul Maya Sujiman dan menghampiriku.

"Sari Wijaya, bukankah dokter bilang kondisimu sangat kritis? Cuma luka begini?"

Ia menatap perban di lenganku dengan tatapan mengejek, nadanya penuh cemooh.

"Kemarin bilang ada operasi dan butuh tanda tanganku, hari ini lenganmu ada luka baru. Banyak sekali ya akal-akalanmu."

Ari Limbong tertawa sinis. "Aku baru tahu, ternyata luka di lengan juga perlu dirawat inap."

Maya Sujiman pun ikut menimpali dengan nada tidak setuju, "Iya, Kak Sari, lain kali jangan membuat kami takut seperti ini. Tadi pagi waktu dokter menelepon, aku dan Ari masih tidur, kami kira ada kecelakaan apa."

Aku hanya menatap mereka dalam diam, tidak mengatakan apa pun.

Perutku kosong sejak semalam, ditambah lagi darahku sudah diambil cukup banyak. Pandanganku mulai sedikit kabur.

Namun, wajah dingin Ari Limbong itu terus menusuk hatiku.

Dia tidak pernah sekali pun percaya padaku, dan tidak pernah sekali pun peduli padaku.

Ada bagian dari hatiku yang perlahan membeku, dan rasa sakit itu sepertinya tidak lagi terasa.

Ruang pemeriksaan mulai memanggil nomor antrean. Aku mendengar namaku dipanggil, lalu berjalan ke arah sana.

Ari Limbong menghalangiku.

"Kenapa? Mau kabur setelah kebohonganmu terbongkar?"

Dia mendekat, berkata tanpa basa-basi, "Jangan lupa, kamu masih berutang permintaan maaf pada Maya."

Aku sudah sangat lelah, lahir dan batin. "Ari Limbong, apa kamu harus bertengkar denganku di rumah sakit?"

Mungkin karena wajahku terlihat sangat pucat.

Dia tertegun sejenak, tidak lagi mendesakku.

Pintu ruang pemeriksaan tertutup rapat. Samar-samar aku mendengar Ari Limbong bertanya pada perawat di sebelahnya, pemeriksaan apa yang sedang kulakukan.

Saat aku keluar, mereka sudah tidak ada lagi.

Kembali ke kamar rawat, di atas meja nakas ada sepiring sarapan bergizi.

Belum sempat aku bertanya, keluarga pasien di ranjang sebelah mengedipkan mata padaku. "Dari pria tampan tadi, lho. Cepat dimakan selagi hangat."

Aku merasa ini sedikit lucu.

Tetapi, aku tidak punya tenaga.

Tanpa berpikir panjang, aku bersandar di kepala ranjang dan menghabiskan sarapan itu.

Pagi harinya, perawat datang untuk memasang infus. Saat makan siang, keluarga pasien di kamar itu melihatku sendirian dan dengan baik hati menawarkan untuk membelikanku makanan.

Aku pun meminta tolong padanya.

Besok aku akan dioperasi, jadi aku harus makan tepat waktu.

Saat visit dokter, Dokter Joko Yusuf datang membawa hasil pemeriksaanku.

"Indikatornya sebagian besar normal, hanya saja kondisi fisikmu terlalu lemah."

Keningnya sedikit berkerut. "Saya sudah resepkan suplemen nutrisi, nanti akan diinfus lagi."

Aku mengangguk patuh.

"Oh ya, kapan wali atau keluargamu datang untuk tanda tangan?"

Aku menjawab dengan datar, "Biar saya tanda tangan sendiri saja. Dia benar-benar tidak bisa datang."

Dokter Joko Yusuf mengerutkan kening. "Bukankah tadi pagi dia datang mengantar makanan?"

Aku mengira dia membicarakan keributan di lantai satu tadi, jadi aku tidak menjawab.

Dokter Joko Yusuf sangat sibuk. Dia hanya berkata akan meminta perawat membawakan surat persetujuan tindakan untuk kutandatangani, lalu melanjutkan visit ke pasien lain.

Sore harinya, perawat datang untuk memasang infus nutrisi dan memberikan surat persetujuan untuk kutandatangani.

Operasi dijadwalkan besok pukul sepuluh pagi.

Pagi-pagi sekali, aku mengirim pesan pada Luna Yuanto.

Tidak lama kemudian, balasan masuk.

【Semangat, Sari! Dokter Joko itu hebat, kok. Kalau ada dia, pasti semua lancar. Nanti aku jenguk kalau kamu sudah baikan.】

Aku tidak bisa menahan senyum.

Pukul sepuluh tepat, perawat mendorongku masuk ke ruang operasi.

Di bawah cahaya lampu operasi yang menyilaukan, wajah Dokter Joko Yusuf terasa familier sekaligus asing.

Dia mengenakan masker, dan di balik kacamatanya, tatapannya begitu fokus, tanpa ekspresi yang tidak perlu.

Melihat sikapnya yang profesional, hatiku yang tadinya tegang menjadi jauh lebih tenang.

Obat bius perlahan mulai bekerja.

Tubuhku terasa semakin dingin. Dalam keadaan setengah sadar, aku seperti mendengar suara Ari Limbong.

Aku seolah bermimpi sangat panjang.

Dalam mimpi itu, di acara wisuda, aku kembali menolak lamaran Ari Limbong.

Di sebuah kamar kos yang sempit, Ari Limbong duduk di lantai, dikelilingi botol-botol minuman keras.

Di sebelahnya ada ponsel yang terus menunjukkan nada sibuk, dengan nama kontak "Sayangku".

Adegan berganti. Dia sudah menjadi direktur termuda di Jakarta.

Lalu di sebuah vila milik keluarga Limbong.

Ari Limbong membawa pulang wanita yang berbeda-beda, berpesta pora siang dan malam.

Aku duduk di depan pintu kamar, meringkuk menahan sakit.

Sakit, sakit sekali.

Rasa dingin yang merembes dari tulang membuat seluruh tubuhku gemetar.

Suara gigiku yang bergemeletuk karena kedinginan terdengar semakin keras.

Tiba-tiba, rasa sakit yang menusuk tajam menyentakku, dan aku terbangun dari tidur.

Lingkungan di sekitarku bukan lagi kamar rawatku yang sebelumnya.

Melihatku sadar, seorang perawat berlari kecil ke ruang dokter.

Tidak lama kemudian, Dokter Joko Yusuf datang tergopoh-gopoh dengan jas putihnya.

"Bagaimana perasaanmu?"

Dia terdengar cemas. Melihatku mengangguk pelan, dia tampak lega.

"Syukurlah sudah sadar. Operasinya berjalan sangat sukses. Beberapa hari ke depan perlu observasi lanjutan. Kalau tidak ada kelainan, berarti kamu sudah melewati masa kritis."

Aku mengerjapkan mata, tidak bisa bicara.

Di ruang ICU ini hanya ada aku seorang.

Ada perawat khusus yang merawat di sisiku. Aku minum seteguk air, lalu dengan susah payah membuka ponsel.

Hanya ada beberapa pesan singkat dan riwayat panggilan tak terjawab dari Luna Yuanto.

Aku takut dia khawatir, jadi aku segera meneleponnya.

Panggilan itu langsung diangkat. Belum sempat aku bicara, rentetan pertanyaan langsung menyambutku.

"Kamu ke mana aja baru kasih kabar? Gimana? Sudah baikan?"

Mendengar suaranya yang familier, tenggorokanku tercekat, tapi aku menahannya sekuat tenaga.

"Nggak apa-apa, kok. Maaf ya sudah bikin kamu khawatir."

Aku berusaha menguatkan diri.

Luna Yuanto bertanya tentang kondisiku sekarang, lalu berpesan beberapa hal dan berkata akan menjenguk jika ada waktu, sebelum akhirnya menutup telepon dengan enggan.

Hari-hari di ruang ICU terasa sedikit membosankan.

Dokter Joko Yusuf tidak mengizinkanku turun dari tempat tidur. Katanya, kondisi fisikku terlalu lemah, jadi aku harus beristirahat total selama beberapa hari.

Nanti kalau sudah lebih baik, baru boleh mulai beraktivitas.

Meskipun operasi berjalan sukses, pengobatan lanjutan masih harus berjalan.

Dan biaya rumah sakitku sudah hampir habis.

Aku melihat status di media sosial Maya Sujiman. Dia dan Ari Limbong sedang pergi ke Maladewa.

Pemandangan pulau yang indah, dengan matahari yang bersinar begitu terik.

Aku menatap wajah mereka yang tersenyum tanpa ekspresi.

Lalu, aku mengirim pesan singkat pada Ari Limbong.

【Uang bulanan bulan ini, transfer aku sepuluh juta.】

Saat aku dirawat di rumah sakit, dia malah bersenang-senang dengan selingkuhannya. Meminta uang sebanyak ini, aku rasa sama sekali tidak berlebihan.

Bagaimanapun juga, aku masih istri sahnya.

Bab Sebelumnya
Bab Selanjutnya